pemandangan

pemandangan
Isin.doank@gmail.com

Kamis, 10 Desember 2020

Ayah, aku sudah siap (bagian1)

Saat itu tiba waktunya bagiku mengambil surat kelulusan di SMPN Bojong Salam yang kini berganti nama menjadi SMPN 2 Rancaekek. Sebuah sekolah negeri yang dibangun di areal persawahan dengan udara yang bersih, sejuk, jauh dari penduduk, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Namun sesekali bisa menikmati pemandangan hilir mudik kereta api yang hanya berjarak 500 m dari sekolah, terletak di kampung Bojong Salam Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Hari ini aku akan menerima surat kelulusan di sekolah tercintaku ini. Entah mengapa hatiku begitu berkecamuk seakan semua rasa ada, bagai permen nano-nano, harap dan cemas menjadi satu menunggu giliran dipanggil oleh guru. 

Kini tiba giliranku di panggil, seketika jantungku berdegup kencang. Akupun  berjalan mengambil surat kelulusan itu berbungkus amplop besar berwarnna putih.

Bak akan membuka kotak misteri, harap dan cemas datang silih berganti di dalam hati ini. Ku ucap basmallah, ku buka amplop putih besar dan ku ambil selembar surat di dalamnya, pelan-pelan ku baca,  dengan suara keras dan ekspresi spontan ku ucap "Alhamdulilah ya Allah..." sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.  Senang rasanya hati ini  dinyatakan lulus setelah mengikuti rangkaian kegiatan EBTA-EBTANAS, US dan UN nama kekiniannya.

Cemaspun seketika itu hilang berganti senang dan gembira. Teman-temanku datang menghampiri mengucap kata selamat, tak terkecuali sahabat dekatku sekaligus rival di kelasku. Ia bertanya kepadaku. Setelah ini mau melanjutkan ke mana, SMA atau SMK? Aku terdiam, tak mampu menjawab hanya bisa berucap "entahlah..."

Saat itu aku tidak bisa menjawabnya, aku masih bingung apakah bisa melanjutkan atau tidak. Aku sadar diri keadaan ekonomi orangtuaku berbeda dengan teman-temanku mereka berasal dari keluarga mampu sementara aku lahir dan dibesarkan di keluarga yang kurang mampu. Ayahku seorang petani penggarap yang kadang menarik becak di kota Bandung, sebuah kota nan asri yang kini dikenal "Paris Van Java". 

Akupun bergegas pulang, berjalan kaki menapaki pematang sawah, mengitari petak - petak padi yang mulai  menguning dan tak lama lagi akan dipanen. Sebuah jalur pavorit, 15 menit lebih cepat dibanding melewati jalan kampung. 

Tibalah aku dirumah, sebuah rumah panggung beralaskan kayu papan, berdindingkan bilik atau ayaman yang terbuat dari kulit bambu. Kutunjukkan surat kelulusan kepada ibu ku, rasa senang dan haru terpancar dari wajah ibuku. Aku berkata " Mah aku lulus, nemku juga lumayan bagus, insya Allah bisa daftar ke SMA Negeri". Mendengar kata-kataku seketika wajah ibuku berubah, kini terlihat sedih dan nampak berkaca-kaca. 

Keeseokan harinya saat ayah dan ibuku duduk bersantai, aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku sangat ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ayahku menarik napas panjang, kemudian beliau mengatakan : " Nak, ayah bangga denganmu, ayah igin menyekolahkanmu sampai ke perguruan tinggi, tapi nak, biayanya dari mana, adik-adikmu juga perlu biaya untuk sekolah".

Deg, seketika dada ku terasa sesak, dinding-dinding rumah seakan menghimpit. Mendengar perkataan ayah ku, aku tak berani berkata apa-apa, aku sangat hormat terhadap mereka, saat mereka berkata , pantang bagiku untuk  berucap apalagi menyela walaupun hati sangat berduka. 

-- Bersambung--